Hukum asal berkurban adalah sunnah kifayah (kolektif), yang artinya apabila di dalam saat anggota keluarga sudah ada yang mengerjakannya, sudah cukup menggugurkan tuntutan bagi anggota keluarga yang lainnya. Namun apabila tidak ada satupun dari mereka yang melaksanakannya, maka semua yang mampu dari mereka akan terkena imbas hukumnya makruh.
Qurban dapat menjadi wajib apabila terdapat nazar, misalnya ketika seseorang berjanji akan melaksanakan qurban di tahun ini apabila mendapatkan kenaikan jabatan, maka wajib baginya untuk melaksanakannya apabila jabatannya telah naik. Namun apabila dengan secara sengaja tidak melaksanakannya maka ia akan berdosa.
Pada dasarnya, qurban sunnah dan kurban yang wajib memiliki titik kesamaan, misalnya dari segi pelaksanaannya. Kedua dilaksanakan pada hari Nahar dan hari-hari tasyriq (10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah). Bila dilakukan di luar waktu tersebut, maka tidak sah sebagai kurban. Tata cara menyembelih mulai dari syarat, rukun dan kesunahan juga tidak berbeda antara dua jenis kurban tersebut.
Perbedaan Qurban Wajib Dan Sunnah
Keduanya menjadi berbeda dalam hal berikut
Hak Mengkonsumsi Daging Bagi Mudhahhi (Pelaksanaan Kurban)
Dalam Qurban sunnah, diperbolehkan bagi mudhahhi untuk mengkonsumsi daging bahkan nazar sebagian kecil dagingnya dan memakan sendiri selebihnya.
Adapula yang lebih utama adalah memakan beberapa suap saja untuk mengambil berkahnya dan menyedekahkannya sisanya (Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 6, hal. 135).
Sementara qurban wajib, mudhahii haram memakannya, sedikitpun tidak akan diperbolehkan untuk dikonsumsi secara pribadi. Keharaman memakan daging qurban wajib juga berlaku untuk segenap orang yang wajib ditanggung nafkahnya oleh mudlahhi, seperti anak, istri, dan lain sebagainya. Syekh Muhammad Nawawi bin Umar menegaskan:
ولا يأكل المضحي ولا من تلزمه نفقته شيأ من الأضحية المنذورة حقيقة أو حكما
“Orang berkurban dan orang yang wajib ia nafkahi tidak boleh memakan sedikitpun dari kurban yang dinazari, baik secara hakikat atau hukumnya”. (Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani, Tausyikh ‘Ala Ibni Qasim, hal. 531).
Kadar Yang Wajib Disedekahkan
Menurut mazhab Syafi’i, standar minimal yang wajib disedekahkan dalam kurban sunnah adalah kadar daging yang mencapai standar kelayakan pada umumnya, misalnya satu kantong plastik daging. Tidak mencukupi memberikan kadar yang remeh seperti satu atau dua suapan. Kadar daging paling minimal tersebut wajib diberikan kepada orang fakir/miskin, meski hanya satu orang.
Selebihnya dari itu, mudhahhi diperkenankan untuk memakannya sendiri atau diberikan kepada orang kaya sebatas untuk dikonsumsi.
Kadar minimal yang wajib disedekahkan tersebut wajib diberikan dalam kondisi mentah, tidak mencukupi dalam kondisi masak (lihat: Syekh Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 6, hal. 135). Sedangkan kurban wajib, semuanya harus disedekahkan kepada fakir/miskin tanpa terkecuali, tidak diperkenankan bagi mudhahhi dan orang-orang yang wajib ia nafkahi untuk memakannya. Demikian pula tidak diperkenankan diberikan kepada orang kaya. Daging yang diberikan juga disyaratkan harus mentah (Syekh Ibnu Qasim al-Ubbadi, Hasyiyah Ibni Qasim ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, juz 9, hal. 363).