Dalam Islam, kita dianjurkan untuk menyembelih hewan dengan cara yang baik. Setiap penyembelihan hewan dianjurkan dengan menggunakan pisau yang tajam bahkan kita juga dianjurkan untuk mengasah terlebih dahulu setiap pisau yang akan digunakan untuk menyembelih agar nantinya proses penyembelihan dapat berjalan dengan baik dan hewan meninggal murni karena proses penyembelihan dan bukan dikarenakan kesakitan yang disebabkan oleh proses penyembelihan yang tidak baik.
وإذا ذبحتم فأحسنوا الذبح واليحد أحدكم شفرته فليرح ذبيحته
“Dan jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik, tajamkan pisaumu, dan senangkanlah hewan sembelihanmu” (HR. Muslim: 3615).
Sehingga, perintah beliau pada dasarnya merupakan kewajiban yang harus kita taati.
Di antara syarat sah sembelihan adalah dengan menumpahkan darahnya yaitu memotong urat/saluran yang terdapat pada leher hewan tersebut, Rasulullah ﷺ bersabda:
ما أنهر الدم وذكر اسم الله عليه فكلوه ليس السن والظفر
“Setiap yang ditumpahkan darahnya dengan disebut nama Allah maka makanlah, kecuali yang disembelih dengan menggunakan gigi dan kuku” (HR. Bukhari: 2308).
Urat yang terdapat pada leher hewan ada 4 jenis: Tenggorokan (Saluran Pernafasan), Kerongkongan (Saluran pencernaan), dan 2 urat besar di sisi samping leher. Sehingga Para Ulama sepakat jika salah satu dari 4 urat tersebut tidak ada yang terpotong maka sembelihan tidak sah dan dagingnya tidak halal dimakan, sebagaima perkataan syaikh Utsaimin rahimahullah:
فإن لم يقطع االودجين, ولا المريئ, ولا الحلقوم تكون الذبيحة حراما بإجماع العلماء, لأنه ما حصل المقصود من إنهار الدم
“Maka jika 2 urat besar di sisi leher tidak terpotong, begitu juga kerongkongan dan tenggorokan semuanya tidak terpotong, maka hukum daging sembelihannya menjadi haram sesuai dengan kesepakatan para ulama; karena maksud dari menumpahkan darah di sini tidak tercapai. (As-syarhul Mumti’: 7/457).
Kemudian para ulama berbeda pendapat mengenai batasan minimal pada urat leher yang harus terpotong saat melakukan proses penyembelihan:
ويرى الحنفية الاكتفاء بقطع الثلاث منها, ويرى المالكية صحة قطع الحلقوم والودجين دون المريء, ويرى الشافعية والحنابلة صحة قطع الحلقوم والمريء
“Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa dicukupkan dengan memotong 3 urat/saluran dari 4 saluran tersebut, dan ulama mazhab Maliki berpendapat sahnya sembelihan dengan memotong tenggorokan (saluran pernafasan) dan 2 urat di sisi leher tanpa harus memotong kerongkongan (Saluran makanan/minuman, dan Ulama mazhab Syafi’I dan Hambali berpendapat bahwa sah nya sembelihan dengan memotong Tenggorokan dan Kerongkongan.” (Al-Fiqh Al-Muyassar: 4/18).
Sehingga sebaik-baik sembelihan adalah yang memotong 4 urat/saluran yang terdapat pada leher hewan tersebut seluruhnya, karena terbebas dari perselisihan pendapat para ulama (As-Syarhul Mumti’: 7/457). Dan Hendaklah dilakukan dengan kuat dan cepat, yaitu satu kali proses penyembelihan.
أن يمر السكين أو الآلة بقوة وسرعة ليكون أسرع, ولأن فيه إراحة للذبيح لقوله صلى الله عليه وسلم: (إذا ذبح أحدكم فليجهز)
“Dan Hendaklah ia mengayunkan pisau atau alat sembelih secara kuat dan cepat agar mempercepat proses sembelihan, dan supaya menenangkan hewan sembelihan, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ (Jika seseorang di antara kalian menyembelih hendaklah ia mempercepat proses sembelihan)(HR. Ahmad: 5864) (Al-Fiqh Al Muyassar: 4/21).
Namun pada beberapa kasus yang dikarenakan kurang berhati hati dalam menyembelih hewan, pisau atau golok yang digunakan tidak tajam sehingga menyebabkan proses penyembelihan ternyata urat-urat leher yang seharusnya putus malah tidak putus, sehingga membutuhkan penyembelihan untuk kedua kalinya, dalam hal ini Imam An-Nawawi berkata:
قال أصحابنا: ولو ترك من الحلقوم والمريء شيئا ومات الحيوان فهو ميتة, وكذا لو انتهى إلى حركة المذبوح فقطع بعد ذلك المتروك فهو ميتة
“Para Ulama dari Mazhab Syafi’I berkata: dan jika tertinggal sesuatu dari tenggorokan dan kerongkongan (tidak terputus sempurna) dan hewan tersebut mati, maka hukum dagingnya adalah bangkai (haram), dan begitu juga apabila proses sembelihan seperti ini (tidak memutus tenggorokan dan kerongkongan secara sempurna) namun hewan tersebut hampir mati kemudian diulangi menggorok tenggorokan dan kerongkongan yang tersisa setelah itu, maka hukum dagingnya adalah bangkai (haram). (Al-Majmu’: 10/123).
Kemudian Para Ulama Mazhab Syafi’I menjelaskan, bahwa hewan sembelihan yang halal dagingnya adalah apabila ketika awal melakukan sembelihan hewan tersebut masih segar-bugar yang mereka istilahkan “hayah mustaqirroh” yaitu dalam keadaan hidup yang tidak terlihat tanda-tanda akan segera mati (lihat: Al-Majmu’: 10/119-126)
Sehingga dengan demikian, Menyembelih hewan sebanyak 2 kali perlu dilihat keadaannya secara rinci:
- Jika hewan telah disembelih dengan tidak memutus kerongkongan dan tenggorokan secara sempurna, namun hewan tersebut terlihat kesakitan dan mendekati kematiannya, kemudian dilakukan penyembelihan untuk kedua kalinya maka hukum dagingnya haram dimakan
- Jika hewan telah disembelih dengan tidak memutus kerongkongan dan tenggorokan secara sempurna, namun masih terlihat segar-bugar (tidak ada tanda-tanda akan mati), kemudian dilakukan penyembelihan untuk kedua kalinya, maka hukumnya sah dan dagingnya halal.
Namun jika sembelihan untuk yang kedua kalinya dilakukan segera, tanpa jeda waktu yang cukup lama, maka hal ini diperbolehkan, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Abu Abdillah al-Malikiy:
فإن عاد عن قرب أكلت سواء رفع اضطرارا أو اختيارا
“JIka melakukan sembelihan untuk kedua kalinya dalam waktu yang dekat (segera), apakah karena terpaksa ataupun sengaja, maka daging hewan tersebut boleh dimakan” (Minahul Jalil: 2/408)
Wallahu A’lam.